Aku tertawa sinis sekaligus malu ketika membaca buku Philip Yancey yang berjudul CHURCH : Why bother? (Gereja : Mengapa dirisaukan?). Sepanjang buku tersebut Philip mengisahkan perjalanan rohaninya di dalam gereja dimana dia mengalami kepahitan pada masa kecil yang pada akhirnya berujung pada penemuannya akan sebuah gereja yang ideal. Pada bab-bab awal sampai bab terakhir aku merasa terlibat di dalam pengalaman tersebut, singkatnya aku mengatakan pada diriku : itu jugalah yang pernah kualami. Tapi pada kesempatan ini, aku tidak sedang bermaksud untuk menulis tentang gereja karena aku pernah membahasnya pada tulisanku sebelumnya (Judul : apakah gerejamu mengecewakan?).
Pada kesempatan ini aku sedang ingin berbagi tentang “ironi pelayan Tuhan”, yang dengan sangat baik dituliskan Philip pada bab terakhir.
Pernyataan judul di atas “Justru seorang pelayan “Tuhan” yang paling butuh dilayani” kupikir sangat mewakili apa yang dituliskan oleh Philip dan juga apa yang kuamati sekaligus apa yang pernah kualami. Jujur kukatakan, bahwa ini sangat menyedihkan…termasuk diriku pada saat itu.
Kuingat ketika itu aku kedatangan seorang teman SMA yang sudah lama tidak bertemu, dia datang dari Riau. Dengan jadwal ku yang sangat-sangat padat hari itu (saat menjadi KU PMKY tahun ke-2 dan beban Skripsi yang sangat melelahkan) aku akhirnya membuat janji dengannya untuk makan bersama di sebuah tempat makan di Jl. Moses Gatotkaca (RM. Refresh). Pertama kali ketemu dengannya, dia langsung mengatakan padaku : Kok kamu kurus dan kusut sekali? Kok kamu terlihat stress sekali? Aku hanya tersenyum saja kala itu, sambil menyimpan alasan karena beban pikiran, kesibukan, manajemen waktu dan prioritas yang tidak baik, dan kesulitan yang luar biasa untuk memindahkan beban tersebut ke pundakNya. Meski pada akhirnya dia mengetahuinya kala seorang teman yang lain ingin membuat janji denganku dan aku kesulitan menemukan waktu yang tepat (saking padatnya dan saking stress-nya). Dia seorang teman wanita yang sangat ceria, sehingga bisa dibayangkan perbedaan antusiasme pembicaraan kami pada saat itu.
Kenangan kisah itu terasa bangkit kembali ketika aku merenungkan apa yang ditulis oleh Philip, “benar!! Aku pernah menjadi pelayan yang justru paling butuh dilayani kala itu, pikirku.” Kuingat masa-masa kejenuhan dan beban kala itu, manajemen waktu dan prioritas yang semakin buruk, waktu-waktu teduh yang semakin tidak kunikmati, tapi beban dan tanggung jawab pelayanan yang tetap harus kujalani. Singkatnya : Aku butuh istirahat!!! Aku butuh konselor!!! Aku butuh datang kepada Tuhan dengan kejujuran !!!.
Seharusnya, pelayanan adalah bentuk ucapan syukur karena anugerah Tuhan, sebuah panggilan yang dijalani dengan sebuah antusiasme dan semangat meski terkadang penuh dengan air mata tetapi penuh kedamaian di hati. Pelayanan adalah sebuah aktualisasi kecintaan kita kepada-Nya, sebuah ekspresi kebebasan menjadi “manusia Allah” (meminjam istilahnya bang TJ), tapi mengapa terkadang justru pelayanan yang memenjarakan pelayan-nya? Mengapa justru tempat yang seharusnya menjadi “surga” bagi pelayan-nya, justru lebih mirip menjadi “neraka”? Mengapa seorang pelayan justru terlihat lebih menderita daripada orang-orang yang ingin mereka layani? Apa yang salah?
Supaya tidak mengurangi pesan pentingnya, saya akan mengutip langsung apa yang dituliskan oleh Philip, demikian :
Melayani orang-orang yang membutuhkan kadang-kadang memerlukan, bukan perasaan yang tidak terpengaruh, tetapi pengerasan hati yang tepat untuk melindungi si penolong dari penderitaan orang yang memerlukan pertolongan. Penulis Frederick Buechner menggambarkan bagaimana ia belajar mengenai hal ini di dalam bukunya telling Secrets :
Mengasihi sesama seperti dirimu sendiri adalah bagian dari perintah Tuhan. Cara lain untuk mengatakannya adalah Kasihilah dirimu sendiri seperti engkau mengasihi sesamamu. Mengasihi diri sendiri tidak dalam arti egosentris, melayani diri sendiri, tetapi mengasihi diri Anda sendiri dengan cara Anda mengasihi teman Anda dalam pengertian menjaga diri Anda sendiri, memperkaya hidup Anda sendiri, mencoba untuk mengerti, menyenangkan, dan memperkuat diri Anda sendiri. Pelayanan secara khusus, orang-orang yang berada dalam profesi menolong pada umumnya, terkenal dalam mengacuhkan diri mereka sendiri dan akibatnya mereka mungkin menjadi tidak berdaya dan lumpuh seperti orang-orang yang sedang mereka tolong, dan akhirnya tidak ada orang yang dapat berguna bagi orang lain. Kalau anak perempuan Anda sedang berjuang untuk hidup dalam aliran air deras tersebut, yang nantinya akan menyebabkan Anda berdua tenggelam bersama-sama. Tetapi Anda akan berpijak pada tepi sungai yang kering, yang menurut Anda tempat yang paling aman, tempat yang paling kokoh dan dari tanah yang keras tersebut Anda mengulurkan tangan untuk menolongnya. “Jagalah kepentingan Anda”, artinya anda harus keluar dari kehidupan orang lain karena di dalam perjalanan mereka selanjutnya mereka harus menghidupi diri mereka sendiri, tetapi itu juga berarti Anda harus memberi perhatian pada hidup Anda sendiri, kesehatan Anda dan keseluruhannya, dari kepentingan Anda sendiri dan tentunya untuk orang-orang yang Anda kasihi juga. Jagalah hidup Anda sehingga Anda juga dapat menjaga mereka. Hati yang berdarah bukanlah suatu pertolongan bagi siapapun jika hal itu berkorban sampai mati.
Kemudian Buechner, yang sudah menuliskan sebuah otobiografi tentang putrinya, menambahkan kalimat ini, “Betapa mudahnya menuliskan kata-kata tersebut tetapi betapa sulitnya untuk melaksanakannya”.
Buechner menuliskan ini ketika anaknya mendapat perawatan karena anorexia di sebuah tempat yang jauhnya tiga ribu mil dari rumah. Dia tidak hadir untuk “melindunginya” dari kejadian-kejadian yang tidak dikehendakinya. Orang-orang yang ada di sekitarnya – para dokter, perawat, pekerja social, dan bahkan hakim yang mengirimkannya ke rumah sakit yang sebenarnya tidak dikehendaki putrinya – mempunyai hati yang keras yang Buechner tidak punyai, tidak mampu untuk memiliki. “Orang-orang itu tidak kurus, menggigil, dan sakit karena mencintai seperti saya. Mereka sangat realistis, keras, bersungguh-sungguh, dan dengan cara tersebut, walaupun mereka tidak pernah menempatkan diri mereka sendiri di dalam situasi tersebut, mereka tetap mengasihinya dan saya percaya mengasihi dengan cara tersebut mempunyai arti yang lebh dekat dengan yang dimaksud oleh Yesus dalam hal mengasihi, daripada apa yang sudah saya lakukan”.
Sindrom dari pengorbanan diri sendiri yang tidak sehat demi kepentingan orang lain, dan menanggung rasa sakit seseorang melebihi orang itu sendiri, hal ini kadang-kadang disebut sebagai sebuah “savior complex” (kompleks Juruselamat). Ironisnya, Juruselamat yang sesungguhnya dengan jelas bebas dari komples yang demikian. Dia bersikeras untuk mempertahankan privasi dan waktuNya untuk sendirian, Dia menerima pemberian sebotol minyak wangi “pemborosan” sebagaimana yang Yudas katakan, sebenarnya dapat dijual dan dipakai untuk mengurangi penderitaan umat manusia.
Yesus menyembukan setiap orang yang meminta, tetapi tidak semua orang yang Dia jumpai. Dia mempunyai kapasitas yang mengagumkan dan jarang untuk membiarkan orang-orang memilih rasa sakitnya sendiri. Dia mendekati Yudas tetapi tidak berusaha untuk mencegah perbuatan jahatnya, Dia mencela orang-orang Farisi tanpa mencoba memaksa mereka menerima pikiranNya, Dia menjawab pertanyaan seorang pemuda yang kaya dengan kata-kata yang tidak menjanjikan dan membiarkannya pergi. Tetapi Markus memberikan komentar tentang pemuda kaya ini yang menolak nasehat Yesus, “…Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadaNya” (Markus 10:21).
Singkatnya, Tuhan Yesus sangat menghormati kebebasn manusia. Dia tidak memaksa mengubah seluruh isi dunia dalam seluruh masa hidup-Nya atau menyembuhkan orang yang tidak siap untuk disembuhkan.
Ketika tinggal diantara para missionary di Peru, Henry Nouwen menyimpulkan bahwa ada dua motivasi yang berbahaya diantara orang-orang yang melayani, yaitu rasa bersalah dan keinginan untuk menyelamatkan. Dia mengatakan, “ Masalah dengan rasa bersalah adalah perasaan tersebut tidak dapat dibawa keluar melalui pekerjaan…Rasa bersalah sudah berarkar lebih dalam daripada yang dapat dicapai melalui pekerjaan pelayanan. Tetapi keinginan untuk menyelamatkan orang dari dosa, dari kemiskinan, atau dari eksploitasi sama juga berbahaya, karena semakin keras seseorang berusaha, maka akan semakin banyak orang itu diperhadapkan dengan keterbatasannya. Banyak pria dan wanita pekerja keras yang menemukan bahwa situasi mereka malah menjadi semakin memburuk selama perjalanan karir missionari mereka, dan jika mereka hanya bergantung pada kesuksesan pekerjaan mereka, maka mereka akan dengan serta merta kehilangan harga diri mereka”.
Nouwen menyimpulkan, “Ketika kita menyadari bahwa rasa bersalah kita sudah diangkat dan bahwa hanya Allah yang meyelamatkan, maka kita kemudian menjadi bebas untuk melayani, dan kita dapat memiliki hidup yang sungguh-sungguh penuh dengan kerendahan hati.” Allah bekerja dengan sangat baik melalui orang-orang yang memiliki roh kerendahan hati dan rasa syukur.
Hipersensitivitas terhadap rasa sakit dapat menjadi suatu karunia, ya, tetapi seperti banyak karunia yang lain, bila diijinkan untuk mengendalikan dan mendominasi, karunia itu bisa menghancurkan. Saya menjadi kawatir ketika melihat para penolong kelihatannya menjadi lebih menderita dan lebih memerlukan pertolongan daripada orang yang sedang mereka tolong. Dalam salah satu puisinya, John Donne menulis, “Salib orang lain bukanlah salib saya.”
Saya sudah berkata bahwa Juruselamat yang sesungguhnya sama sekali tidak mempunyai apa yang sekarang ini kita sebut sebagai “savior complex”. Berikut ini Helmut Thielicke menggambarkan pelayanan Yesus :
Alangkah banyaknya tekanan yang harus Dia alami yang mendorong Dia menjadi demam, tegang, dan mengalami ledakan aktivitas! Dia melihat…sebagaimana orang lain tidak melihatnya, dengan jarak yang dekat dan jelas, penderitaan orang yang sekarat, penyiksaan para tahanan, kesedihan yang mendalam dari orang-orang yang terluka, ketidakadilan, terror, ketakutan, dan kekejaman. Dia melihat, mendengar dan juga merasakan semuanya ini dengan hati Juruselamat…Haruskah hal-hal seperti ini mengisi waktu luangNya dan merampok waktu tidurNya? Haruskah Dia tidak mulai sesegera mungkin menyalakan api, memenangkan orang, menyusun rencana-rencana strategis untuk menginjili dunia, bekerja, kerja, kerja mati-matian, tanpa hentinya, tanpa istirahat, sebelum malam tiba ketika tidak ada satu orangpun yang bisa bekerja? Inilah yang dapat kita bayangkan mengenai kehidupan Anak Allah di atas muka bumi, jika kita berpikir tentang Dia secara manusiawi.
Tetapi betapa berbedanya dengan kehidupan nyata dari Yesus! Walaupun beban seluruh dunia terletak pada pundak-Nya, walaupun Korintus dan Efesus dan Athena, seluruh benua, dengan seluruh kebutuhan yang menyedihkan, ada sangat dekat dengan hatiNya, walaupun penderitaan dan dosa terus berlangsung di dalam kamar-kamar, di sudut-sudut jalan, kastil, dan di tempat-tempat kumuh dan kotor, hal ini hanya dapat dilihat oleh Anak Allah – walaupun kesengsaraan yang tiada terukur dan keadaan yang sangat menyedihkan menjerit dengan kerasnya memohon sang tabib, Dia mempunyai waktu untuk berhenti dan berbicara pada individu…
Dengan taat Dia tinggal di sebuah sudut terpencil dari provinsi Nazaret dan Betlehem dan Dia mengijinkan diri-Nya sendiri dipasangkan dalam sebuah mozaik yang tuannya adalah Allah. Oleh karena itulah Dia mempunyai waktu untuk orang-orang, karena semua waktuNya ada di dalam BapaNya. Dan karena itu pulalah damai dan bukan kegelisahan yang keluar dari Dia. Karena kesetiaan Allah telah mengelilingi dunia ini seperti sebuah pelangi, Dia tidak perlu membangunnya, Dia hanya perlu berjalan di bawahnya.
Di dalam sejarah perjalanan pelayanan Yesus di atas muka bumi ini, saya hanya melihat sekali Dia mengalami satu hal yang mirip dengan “kehabisan”. Di taman Getsemani, Yesus merasa letih lesu dan tidak berdaya di atas tanah dan berdoa. Keringat bercucuran di atas dahi-Nya seperti tetesan darah. Doa-Nya bernadakan permohonan yang amat sangat.Dia “…mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut…” kata kitab Ibrani, tetapi tentu saja Yesus tahu bahwa Dia tidak akan diselamatkan dari maut. Karena kesadaran itu tertanam di dalam diri-Nya, Yesus merasa sangat tertekan. Dia tidak mempunyai kelompok untuk mendukungNya, mereka semua sudah lelap tertidur. “Tidakkah…kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Dia berkata (Matius 26 : 40).
Tetapi masih ada satu perubahan yang sangat besar terjadi di antara pemandangan di dalam taman dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya. Injil menjelaskan tentang Getsemani yang memperlihatkan Seseorang yang berdoa dalam tekanan dan kesedihan yang amat sangat. Sesudah Getsemani, mereka memperlihatkan Seseorang yang lebih dari Pilatus, lebih dari seorang Herodes, bertingkah laku sama sekali TERKONTROL. Yesus bukanlah korban, Dia sangat tenang, Dia adalah Tuan atas takdirNya sendiri.
Apakah yang terjadi di Taman itu yang membuat suatu perbedaan?
Kita hanya mempunyai sedikit detil tentang isi doa Yesus, karena saksi potensialnya jatuh tertidur. Dia mungkin harus meninjau kembali seluruh pelayananNya di atas muka bumi ini. Beban atas semuanya ini harus Dia pikul sendiri ; murid-muridNya sangat tidak stabil, gerakan mereka sedang dalam bahaya, dunia ini masih dikuasai oleh si jahat dan banyak penderitaan. Yesus sendiri tampakNya berada di ujung daya tahan manusia. Dia tidak lagi lebih menyukai pemikiran tentang rasa sakit dan kematian daripada apa yang Anda atau saya lakukan.
Meskipun begitu, di dalam taman Getsemani Yesus bekerja mengatasi krisis tersebut dengan memindahkan beban kepada Bapa. Pertama-tama sesudah itu, doaNya berubah menjadi demikian : “ tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Beberapa jam kemudian Dia berkata, dengan kesungguhan yang mendalam, “Sudah selesai”.
Saya berdoa agar saya dapat melihat pekerjaan saya, kehidupan saya, sebagai satu persembahan kepada Allah setiap hari. Saya telah belajar bahwa Allah adalah Allah yang murah hati, penuh belas kasih, dan penuh dengan anugerah. Allah dan hanya Allah saja yang memiliki kualitas untuk menolong saya mengatasi jalan licin diantara mengasihi orang lain dan mengasihi diri sendiri – satu jalan yang dibatasi oleh hipersensitivitas dan callus (penebalan kulit).