Selasa, 04 Januari 2011

SEUTAS TALI RAFIA YANG SUNGGUH BERMAKNA





Kalo kita ditanya, kapan waktu yang paling tepat untuk berbagi, mungkin kebanyakan dari kita mengatakan saat kita berlebih, atau setidaknya berkecukupan.

Sebuah jawaban yang logis, tapi seringkali jawaban tersebut hanyalah sebuah ucapan bibir semata, karena faktanya kita tidak pernah berkecukupan apalagi berlebih, lebih seringnya berkekurangan.

Lalu harus mulai darimana?

Pertanyaan inilah yang menjadi pesan inti dari tulisanku kali ini kawan.

Kemarin sore, aku dan fony hendak membawa barang-barang ke rumah kontrakan fony yang baru. Jogja mendung gelap sekali. Kami membawa banyak perabot rumah, termasuk diantaranya rak plastic 2 buah. Sejujurnya kami cukup kewalahan membawanya, ditambah harus buru-buru supaya tidak kehujanan, meski kami punya mantel, tapi rasanya memakai mantel pun barang-barang kami akan tetap basah.

Langsung kutancap gas saja, supaya kami segera sampai ke tujuan, tapi apa daya saat sampai di depan Rumah Makan SEDERHANA, hujan turun sangat deras yang memaksa kami harus berteduh. Ditambah kemacetan di Jakal menuju per-empat-an Traffic light yang menghambat laju perjalanan kami. Akupun berbelok masuk ke bengkel motor sebelah AHAS motor, tepat di seberang Rumah Makan Sederhana. Meski sedikit basah, kami merasa bersyukur karena bisa berteduh.

Sambil berteduh menunggu hujan agak reda, kami langsung sibuk meletakkan barang-barang yang memenuhi motor kami dan juga kedua tangan fony yang sudah memegang kedua rak plastic. Di dalam kesibukan dengan diri kami, terburu-buru karena kehujanan, keinginan untuk segera sampai dan karena aku sudah “kebelet” buang air kecil, sama sekali aku tidak memperhatikan beberapa orang yang turut berteduh bersama kami. Kamipun segera meletakkan beberapa barang yang kami bawa di atas motor, kecuali kedua rak plastic karena rasanya jok motor sudah penuh. Kami enggan meletakkannya di atas lantai karena lantai sangat kotor dengan oli bengkel. Akhirnya kami punya ide untuk melepaskan rakitan rak plastic tersebut, supaya menjadi lebih praktis untuk diletakkan di atas motor dan nantinya dibawa. Saat kami sibuk melepaskan satu-persatu rakitan, tiba-tiba seorang bapak setengah tua datang ke kami dengan membawa seutas tali raffia, sambil mengatakan : “Ini mas”, Wah terkejut sekali aku melihatnya dan langsung kuterima dan kuucapkan : “terima kasih pak”, karena memang dari awal tadi aku merasa sangat membutuhkan tali untuk mengikat kedua bongkaran rak plastic tersebut.

Taukah kau kawan, apa yang terjadi selanjutnya?

Ternyata bapak tersebut adalah seorang pemulung (meski kondisinya jauh lebih baik dari pemulung pada umumnya) yang juga ikut berteduh bersama kami di bengkel tersebut.

Sejujurnya aku sangat terharu dan tersentuh dengan apa yang bapak tersebut sudah lakukan bagi kami. Seutas tali rafia mungkin sangat tidak bernilai secara rupiah, tapi dibalik tindakan itu ada sesuatu yang sangat luar biasa. Ijinkan aku menyebutnya : tindakan sederhana dengan kasih yang besar.

Kenapa kukatakan seperti itu?

Karena dalam segala kondisi tersebut, sulit bagi seorang “sigit” melihat lingkungan sekitar, apalagi apa yang menjadi kebutuhan mereka. Tapi bapak tersebut justru melakukan sebaliknya, dia melihat lingkungan sekitarnya dan melihat apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Dan dia mendapatkan jawabannya di dalam kesibukan kami : seutas tali rafia.
Kalau seorang pemulung yang notabene menjadi kelompok masyarakat yang butuh ditolong saja mampu menolong, apalagi kita?





Yogyakarta, 3 Januari 2010
Ditulis sebagai ucapan terimakasih kepada kasih bapak “pemulung” tersebut
Benedictus Sigit Suryono

Jumat, 24 Desember 2010

APA YANG MEMBEDAKAN MEREKA?


Hari Kamis, 23 Desember 2010
(Renungan Natal II)

Seorang wanita tua berteduh untuk melepas lelah
Setelah seharian memulung sampah
Hidup sebatang kara, tanpa suami dan anak
Di kota Jogja yang katanya “ramah”
Tanpa rumah untuk melepas lelah
Hanya stasiun Lempuyangan tempatnya berserah
Aaaaah dunia ini,adilkah?

Tapi……
Wajahnya cerah
Penuh semangat untuk terus hidup
Meski dengan memulung sampah

Jauh dari tempatnya berada
Seorang pria tua dengan fasilitas dan rumah
Terus mengeluh dan sulit berserah
Hatinya selalu penuh dengki dan amarah
Hidup untuk masa lalu yang pahit
Tanpa pernah bisa memandang masa depan yang cerah
Aaaah, lalu apa yang salah?

Oh Sang pencerah, Tolonglah…
Yogyakarta, 24 Desember 2010

NATAL...




Natal……………
Masihkah disebut Natal disaat lagu malam kudus lupa dikumandangkan………
Masihkah disebut Natal disaat tidak ada kado-kado Natal………………
Masihkah disebut Natal disaat tidak ada sepucukpun kartu natal buat kita………
Masihkah disebut Natal disaat tidak ada pohon natal, tidak ada santa claus atau bahkan tidak ada pernak-pernik natal di sekitar kita………..

…………………lalu apa arti Natal yang sebenarnya?

Natal adalah sebuah penggenapan janji Ilahi…….
Sang Pencipta……..menyusut……….menyusut………………dan menyusut……….
Menjadi satu sel telur yang telah dibuahi oleh kuasa Ilahi di dalam rahim anak dara.
Sang Pencipta…….entah apa yang Dia pikirkan…….telah menjadi mamalia, sama seperti kita…………ironis dan sulit dicerna memang, tapi itulah pilihan radikalNya.

Dia dilahirkan di sebuah kandang yang hina, beralaskan palungan, di sebuah kota kecil Betlehem di malam yang dingin dan mencekam….dikejar-kejar untuk dibunuh.
KelahiranNya hanya disaksikan oleh para gembala, orang-orang sederhana yang tidak terpandang di masyarakat,.

Namun saudaraku………..di malam itu, 2000 tahun yang lalu, di kota kecil Betlehem itu………telah menjadi malam yang paling penting dalam sejarah umat manusia……………………..dan telah menjadi pemisah sejarah umat manusia……

Dia datang karena bagi Dia, aku dan kamu sangatlah berharga………
Dia datang membawa pengampunan di dalam kasih karuniaNya…………..
Dia datang dalam segala kesederhanaanNya…………………………..

Inilah pesan Natal…………………………………
selamat menyambut Natal saudaraku!!!!!!!!!!



Yogyakarta, 24 Desember 2010

Kamis, 26 Agustus 2010

KETIKA AMARAH MENGUASAINYA…




Bola matanya mulai memerah…
Dan terbalik seperti ke-setan-nan
Kata-kata kasar nan seronok keluar dari mulutnya…
Memaki maki tiada henti
Hingga Yang Kuasa menjadi korbannya
Gaduh tiada terkira
Perabot yang diam pun menjadi sasaran kemarahannya…Hancur berantakan!
Terkadang pula pukulan dan tamparan…
Sampai terdengar isakan tangis…
Dan sesekali kata-kata pembalasan…
Bocah itu terdiam seribu bahasa…
Air matapun menetes di pipinya…
Tidak tau lagi kemana ia harus meminta pertolongan
Hanya tangisan dan doa yang diucapkannya…
Agar semuanya segera berakhir

Tapi terkadang ia tak kuasa…
Dan mencari jalan pintas untuk mengakhiri semuanya
Hingga perlawanan yang ia berikan…
Untuk membela yang lemah dan tertindas…
Mata, telinga dan otak mungil si anak kecil itu terus merekam…
Hingga kebencian, ketakutan, dan pemberontakan menguasainya…
Semua tertuju pada sosok yang salah…
Tapi apa bedanya bagi bocah kecil ini…
Hingga lingkungan yang salah yang menjadi sahabat karibnya…

Sampai suatu ketika Yang Maha Kuasa menghampirinya…
Memeluknya erat-erat…
Menjadi satu-satunya Pribadi yang peduli…
Menyatakan kasihNya yang tak bersyarat…
Mengobati luka-luka masa lalunya…
Luka yang lebar dan dalam…
Yang membutuhkan waktu penyembuhan..
Dan perih sakit tiada terkira.
Hingga….
Perlahan luka-luka itu mulai mengering dan sembuh…

Dan kini…
Ia telah mampu berdoa dengan ketulusan.
Semoga sosok tersebut segera sembuh
Sembuh dari luka-luka masa lalu dan dendam yang menguasainya.
Di usianya yang telah senja
Untuk sejenak melihat dunia yang berbeda
Dunia yang penuh dengan keagungan Sang Pencipta
Oooooh indahnya……………
Ketika kita melihat dunia ini dengan kacamata kasihNya

Dan hanya Tuhan yang sanggup melakukannya
Semoga…







Ditulis dari kisah seorang sahabat
Sebagai doa untuknya…
Jakarta, 28 Agustus 2010, pukul 19.00

Minggu, 22 Agustus 2010

TUHANKU, AJAR AKU UNTUK MAU BELAJAR MENJADI PEMBELAJAR YANG MAU TERUS BELAJAR!


Learning by doing, Trial and Error…
Pengalaman hidup itu sangat mahal harganya
-dr. Gideon Hartono-


Ketika kita ditanya “Sampai kapan kita mau belajar?” kebanyakan kita akan menjawab sampai S1, S2, S3 atau mungkin sampai mendapat gelar Profesor.
Seringkali kita terjebak pada definisi formal belajar pada proses belajar formal yang sama-sama kita pahami, yang sebenarnya pada saat yang sama kita sedang “mempersempit” arti belajar itu sendiri.
Bagiku belajar adalah perjalanan seumur hidup kita, sampai kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Dan yang terpenting adalah belajarlah bagaimana caranya belajar (petuah dari salah seorang dosen Teknik Industri UGM yang masih kuingat), karena ketika kita menemukan cara kita belajar, dalam kondisi apapun kita bisa selalu belajar.
Tapi ternyata proses belajar itu tidak selalu asik untuk dijalani, terkadang justru proses yang menyakitkan dan menyebalkan. Sekali lagi, mengetahui bagaimana cara belajar menjadi kuncinya.
Aku bersyukur, selama mahasiswa hingga dunia kerja saat ini aku menemukan orang-orang yang telah menjadi Guru dan teladan dalam kehidupanku. Orang-orang sederhana yang mau terus belajar dan menjadi orang-orang yang luar biasa. Orang-orang yang memegang teguh visi dan panggilan hidup mereka, bertekun di dalamnya, bekerja keras dan tidak pernah mau kalah dalam keputus-asaan.
Seorang pertama, adalah seorang dokter-pendeta. Kukatakan demikian karena faktanya dia adalah seorang dokter sekaligus seorang pendeta mahasiswa di kampus. Kuingat ketika kami masi belajar alkitab bersama di rumahnya sampai tengah malam setiap minggunya, dengan kantuknya yang berusaha ditahan untuk mengajari kami meng-eksposisi alkitab, dengan kacamatanya yang mulai turun. Justru peristiwa itulah yang jauh lebih membekas dibanding semua paparan eksposisi alkitab yang dia sampaikan, karena peristiwa itulah yang meneguhkan ketekunan dan kesabarannya dalam membimbing kami. Ditambah lagi pelayanannya sebagai pembicara di berbagai kampus maupun terkadang di gereja yang mengharuskannya bangun dini hari pukul 3 untuk persiapan hampir beberapa hari dalam seminggu, karena permintaan pelayanan yang harus dia persiapkan, tentunya juga persiapan untuk membimbing kami, di tengah kesibukannya sebagai seorang wakil direktur sebuah Rumah Sakit, Ketua Yayasan Pelayanan Kristen, suami dan ayah dari dua orang putri. Dia pernah mengatakan bahwa dirinya selalu melakukan persiapan untuk pelayanan maupun menyelesaikan tugas-tugas kantor (kalaupun ada) ketika anak-anak telah tertidur, artinya dia tetap memprioritaskan perannya sebagai ayah dari dua orang anaknya ketika sudah ada di rumah. Suatu proses keseimbangan hidup pelayan Tuhan yang tidak mudah dewasa ini, yang tentu butuh pengorbanan, tapi suatu konsekuensi kebenaran yang harus dijalani. Oleh karenanya aku dapat menyaksikan langsung pemahaman dan pemaparan yang sangat baik dalam mengupas alkitab ketika dia membawakan Firman Tuhan sekalgus aku melihat kedekatannya dengan keluarga yang sangat bahagia.
Seorang kedua, adalah seorang dokter-preneur. Seorang praktisi dokter sekaligus seorang entrepreneur yang kemudian terjun menjadi seorang entrepreneur sejati. Pertama kali melihat sosoknya, yang muncul di pikiranku adalah ke-rendahanhati-nya, karena memang itulah fakta yang kuamati. Lebih jauh mengenal pribadi ini aku melihat keteguhan hatinya memegang visi dan konsep, disiplin, pekerja keras, berani, cerdas, negosiator ulung, pembelajar, entertainer sejati sekaligus seorang politikus. Suatu perpaduan langka yang membuatnya pernah nyaris menjadi seorang pemimpin daerah di kota pelajar Yogyakarta dan kini menjadi salah seorang entrepreuner sukses di Republik ini. Kecerdasannya dapat kutangkap dari kelihaiannya dalam melakukan lompatan-lompatan pemikiran saat berdiskusi dengannya, tetap tenang dan bisa tetap kembali fokus dalam hitungan detik, kembali pada topic pembicaraan. Suatu lalu-lintas aktivitas pemikiran yang sangat padat yang harus dia jalani untuk memimpin perusahaan yang sedang bersinar. Terkadang aku bingung sendiri dengan kecerdasaanya. Selain itu aku dapat melihat keteguhan hati dan keberaniannya dalam memegang visi dan konsep, keberanian dalam mengambil sebuah resiko yang sulit. Dan aku melihat kerja kerasnya yang luar biasa, rapat marathon, pertemuan-pertemuan penting sampai dengan sentuhan personal kepada bebarapa pribadi. Sungguh totalitas yang luar biasa.
Dan yang membuatku paling terharu sebenarnya ialah lagi-lagi kedekatannya dengan kedua anak lelaki dan istrinya. Sering aku melihat ketika anak atau istrinya masuk ruangan saat ia memimpin rapat, dia selalu memberikan sapaan hangat kepada mereka, seakan dia ingin selalu mengatakan kepada mereka : “Aku tetaplah ayahmu yang selalu mengasihimu! Aku adalah suami yang selalu mengasihimu”. Bayangkan kawan, betapa sulitnya menjaga keseimbangan sebagai seorang direktur dari 3 buah perusahaan, ketua yayasan sebuah institusi pendidikan Kristen, sekaligus menjadi suami dan ayah dari dua orang anak lelaki yang sedang beranjak remaja. Tentu tidak mudah.

Ada banyak pribadi lain yang telah menjadi guru dalam kehidupanku kini dan kemarin yang tak mampu kutuliskan satu-persatu. Tapi semua dari mereka memilki satu kesamaan, mereka adalah pembelajar yang rendah hati. Dan mereka adalah anak-anak Tuhan yang belajar untuk setia di tengah dunia yang bobrok, memegang visi dan panggilan mereka untuk menjadikan dunia ini menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.



Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.


Roma 12 : 2



Ditulis sebagai pengingat;
Bahwa kita adalah seorang murid sekaligus garam dunia
Jakarta, 22 Agustus 2010 pukul 22.00

Selasa, 13 Juli 2010

IRONI PELAYAN TUHAN : JUSTRU SEORANG PELAYAN “TUHAN” YANG PALING BUTUH DILAYANI (diambil dari tulisan Philip Yancey dengan penambahan di sana sini)



Aku tertawa sinis sekaligus malu ketika membaca buku Philip Yancey yang berjudul CHURCH : Why bother? (Gereja : Mengapa dirisaukan?). Sepanjang buku tersebut Philip mengisahkan perjalanan rohaninya di dalam gereja dimana dia mengalami kepahitan pada masa kecil yang pada akhirnya berujung pada penemuannya akan sebuah gereja yang ideal. Pada bab-bab awal sampai bab terakhir aku merasa terlibat di dalam pengalaman tersebut, singkatnya aku mengatakan pada diriku : itu jugalah yang pernah kualami. Tapi pada kesempatan ini, aku tidak sedang bermaksud untuk menulis tentang gereja karena aku pernah membahasnya pada tulisanku sebelumnya (Judul : apakah gerejamu mengecewakan?).
Pada kesempatan ini aku sedang ingin berbagi tentang “ironi pelayan Tuhan”, yang dengan sangat baik dituliskan Philip pada bab terakhir.
Pernyataan judul di atas “Justru seorang pelayan “Tuhan” yang paling butuh dilayani” kupikir sangat mewakili apa yang dituliskan oleh Philip dan juga apa yang kuamati sekaligus apa yang pernah kualami. Jujur kukatakan, bahwa ini sangat menyedihkan…termasuk diriku pada saat itu.
Kuingat ketika itu aku kedatangan seorang teman SMA yang sudah lama tidak bertemu, dia datang dari Riau. Dengan jadwal ku yang sangat-sangat padat hari itu (saat menjadi KU PMKY tahun ke-2 dan beban Skripsi yang sangat melelahkan) aku akhirnya membuat janji dengannya untuk makan bersama di sebuah tempat makan di Jl. Moses Gatotkaca (RM. Refresh). Pertama kali ketemu dengannya, dia langsung mengatakan padaku : Kok kamu kurus dan kusut sekali? Kok kamu terlihat stress sekali? Aku hanya tersenyum saja kala itu, sambil menyimpan alasan karena beban pikiran, kesibukan, manajemen waktu dan prioritas yang tidak baik, dan kesulitan yang luar biasa untuk memindahkan beban tersebut ke pundakNya. Meski pada akhirnya dia mengetahuinya kala seorang teman yang lain ingin membuat janji denganku dan aku kesulitan menemukan waktu yang tepat (saking padatnya dan saking stress-nya). Dia seorang teman wanita yang sangat ceria, sehingga bisa dibayangkan perbedaan antusiasme pembicaraan kami pada saat itu.
Kenangan kisah itu terasa bangkit kembali ketika aku merenungkan apa yang ditulis oleh Philip, “benar!! Aku pernah menjadi pelayan yang justru paling butuh dilayani kala itu, pikirku.” Kuingat masa-masa kejenuhan dan beban kala itu, manajemen waktu dan prioritas yang semakin buruk, waktu-waktu teduh yang semakin tidak kunikmati, tapi beban dan tanggung jawab pelayanan yang tetap harus kujalani. Singkatnya : Aku butuh istirahat!!! Aku butuh konselor!!! Aku butuh datang kepada Tuhan dengan kejujuran !!!.
Seharusnya, pelayanan adalah bentuk ucapan syukur karena anugerah Tuhan, sebuah panggilan yang dijalani dengan sebuah antusiasme dan semangat meski terkadang penuh dengan air mata tetapi penuh kedamaian di hati. Pelayanan adalah sebuah aktualisasi kecintaan kita kepada-Nya, sebuah ekspresi kebebasan menjadi “manusia Allah” (meminjam istilahnya bang TJ), tapi mengapa terkadang justru pelayanan yang memenjarakan pelayan-nya? Mengapa justru tempat yang seharusnya menjadi “surga” bagi pelayan-nya, justru lebih mirip menjadi “neraka”? Mengapa seorang pelayan justru terlihat lebih menderita daripada orang-orang yang ingin mereka layani? Apa yang salah?
Supaya tidak mengurangi pesan pentingnya, saya akan mengutip langsung apa yang dituliskan oleh Philip, demikian :
Melayani orang-orang yang membutuhkan kadang-kadang memerlukan, bukan perasaan yang tidak terpengaruh, tetapi pengerasan hati yang tepat untuk melindungi si penolong dari penderitaan orang yang memerlukan pertolongan. Penulis Frederick Buechner menggambarkan bagaimana ia belajar mengenai hal ini di dalam bukunya telling Secrets :
Mengasihi sesama seperti dirimu sendiri adalah bagian dari perintah Tuhan. Cara lain untuk mengatakannya adalah Kasihilah dirimu sendiri seperti engkau mengasihi sesamamu. Mengasihi diri sendiri tidak dalam arti egosentris, melayani diri sendiri, tetapi mengasihi diri Anda sendiri dengan cara Anda mengasihi teman Anda dalam pengertian menjaga diri Anda sendiri, memperkaya hidup Anda sendiri, mencoba untuk mengerti, menyenangkan, dan memperkuat diri Anda sendiri. Pelayanan secara khusus, orang-orang yang berada dalam profesi menolong pada umumnya, terkenal dalam mengacuhkan diri mereka sendiri dan akibatnya mereka mungkin menjadi tidak berdaya dan lumpuh seperti orang-orang yang sedang mereka tolong, dan akhirnya tidak ada orang yang dapat berguna bagi orang lain. Kalau anak perempuan Anda sedang berjuang untuk hidup dalam aliran air deras tersebut, yang nantinya akan menyebabkan Anda berdua tenggelam bersama-sama. Tetapi Anda akan berpijak pada tepi sungai yang kering, yang menurut Anda tempat yang paling aman, tempat yang paling kokoh dan dari tanah yang keras tersebut Anda mengulurkan tangan untuk menolongnya. “Jagalah kepentingan Anda”, artinya anda harus keluar dari kehidupan orang lain karena di dalam perjalanan mereka selanjutnya mereka harus menghidupi diri mereka sendiri, tetapi itu juga berarti Anda harus memberi perhatian pada hidup Anda sendiri, kesehatan Anda dan keseluruhannya, dari kepentingan Anda sendiri dan tentunya untuk orang-orang yang Anda kasihi juga. Jagalah hidup Anda sehingga Anda juga dapat menjaga mereka. Hati yang berdarah bukanlah suatu pertolongan bagi siapapun jika hal itu berkorban sampai mati.

Kemudian Buechner, yang sudah menuliskan sebuah otobiografi tentang putrinya, menambahkan kalimat ini, “Betapa mudahnya menuliskan kata-kata tersebut tetapi betapa sulitnya untuk melaksanakannya”.
Buechner menuliskan ini ketika anaknya mendapat perawatan karena anorexia di sebuah tempat yang jauhnya tiga ribu mil dari rumah. Dia tidak hadir untuk “melindunginya” dari kejadian-kejadian yang tidak dikehendakinya. Orang-orang yang ada di sekitarnya – para dokter, perawat, pekerja social, dan bahkan hakim yang mengirimkannya ke rumah sakit yang sebenarnya tidak dikehendaki putrinya – mempunyai hati yang keras yang Buechner tidak punyai, tidak mampu untuk memiliki. “Orang-orang itu tidak kurus, menggigil, dan sakit karena mencintai seperti saya. Mereka sangat realistis, keras, bersungguh-sungguh, dan dengan cara tersebut, walaupun mereka tidak pernah menempatkan diri mereka sendiri di dalam situasi tersebut, mereka tetap mengasihinya dan saya percaya mengasihi dengan cara tersebut mempunyai arti yang lebh dekat dengan yang dimaksud oleh Yesus dalam hal mengasihi, daripada apa yang sudah saya lakukan”.
Sindrom dari pengorbanan diri sendiri yang tidak sehat demi kepentingan orang lain, dan menanggung rasa sakit seseorang melebihi orang itu sendiri, hal ini kadang-kadang disebut sebagai sebuah “savior complex” (kompleks Juruselamat). Ironisnya, Juruselamat yang sesungguhnya dengan jelas bebas dari komples yang demikian. Dia bersikeras untuk mempertahankan privasi dan waktuNya untuk sendirian, Dia menerima pemberian sebotol minyak wangi “pemborosan” sebagaimana yang Yudas katakan, sebenarnya dapat dijual dan dipakai untuk mengurangi penderitaan umat manusia.
Yesus menyembukan setiap orang yang meminta, tetapi tidak semua orang yang Dia jumpai. Dia mempunyai kapasitas yang mengagumkan dan jarang untuk membiarkan orang-orang memilih rasa sakitnya sendiri. Dia mendekati Yudas tetapi tidak berusaha untuk mencegah perbuatan jahatnya, Dia mencela orang-orang Farisi tanpa mencoba memaksa mereka menerima pikiranNya, Dia menjawab pertanyaan seorang pemuda yang kaya dengan kata-kata yang tidak menjanjikan dan membiarkannya pergi. Tetapi Markus memberikan komentar tentang pemuda kaya ini yang menolak nasehat Yesus, “…Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadaNya” (Markus 10:21).
Singkatnya, Tuhan Yesus sangat menghormati kebebasn manusia. Dia tidak memaksa mengubah seluruh isi dunia dalam seluruh masa hidup-Nya atau menyembuhkan orang yang tidak siap untuk disembuhkan.
Ketika tinggal diantara para missionary di Peru, Henry Nouwen menyimpulkan bahwa ada dua motivasi yang berbahaya diantara orang-orang yang melayani, yaitu rasa bersalah dan keinginan untuk menyelamatkan. Dia mengatakan, “ Masalah dengan rasa bersalah adalah perasaan tersebut tidak dapat dibawa keluar melalui pekerjaan…Rasa bersalah sudah berarkar lebih dalam daripada yang dapat dicapai melalui pekerjaan pelayanan. Tetapi keinginan untuk menyelamatkan orang dari dosa, dari kemiskinan, atau dari eksploitasi sama juga berbahaya, karena semakin keras seseorang berusaha, maka akan semakin banyak orang itu diperhadapkan dengan keterbatasannya. Banyak pria dan wanita pekerja keras yang menemukan bahwa situasi mereka malah menjadi semakin memburuk selama perjalanan karir missionari mereka, dan jika mereka hanya bergantung pada kesuksesan pekerjaan mereka, maka mereka akan dengan serta merta kehilangan harga diri mereka”.
Nouwen menyimpulkan, “Ketika kita menyadari bahwa rasa bersalah kita sudah diangkat dan bahwa hanya Allah yang meyelamatkan, maka kita kemudian menjadi bebas untuk melayani, dan kita dapat memiliki hidup yang sungguh-sungguh penuh dengan kerendahan hati.” Allah bekerja dengan sangat baik melalui orang-orang yang memiliki roh kerendahan hati dan rasa syukur.
Hipersensitivitas terhadap rasa sakit dapat menjadi suatu karunia, ya, tetapi seperti banyak karunia yang lain, bila diijinkan untuk mengendalikan dan mendominasi, karunia itu bisa menghancurkan. Saya menjadi kawatir ketika melihat para penolong kelihatannya menjadi lebih menderita dan lebih memerlukan pertolongan daripada orang yang sedang mereka tolong. Dalam salah satu puisinya, John Donne menulis, “Salib orang lain bukanlah salib saya.”
Saya sudah berkata bahwa Juruselamat yang sesungguhnya sama sekali tidak mempunyai apa yang sekarang ini kita sebut sebagai “savior complex”. Berikut ini Helmut Thielicke menggambarkan pelayanan Yesus :
Alangkah banyaknya tekanan yang harus Dia alami yang mendorong Dia menjadi demam, tegang, dan mengalami ledakan aktivitas! Dia melihat…sebagaimana orang lain tidak melihatnya, dengan jarak yang dekat dan jelas, penderitaan orang yang sekarat, penyiksaan para tahanan, kesedihan yang mendalam dari orang-orang yang terluka, ketidakadilan, terror, ketakutan, dan kekejaman. Dia melihat, mendengar dan juga merasakan semuanya ini dengan hati Juruselamat…Haruskah hal-hal seperti ini mengisi waktu luangNya dan merampok waktu tidurNya? Haruskah Dia tidak mulai sesegera mungkin menyalakan api, memenangkan orang, menyusun rencana-rencana strategis untuk menginjili dunia, bekerja, kerja, kerja mati-matian, tanpa hentinya, tanpa istirahat, sebelum malam tiba ketika tidak ada satu orangpun yang bisa bekerja? Inilah yang dapat kita bayangkan mengenai kehidupan Anak Allah di atas muka bumi, jika kita berpikir tentang Dia secara manusiawi.
Tetapi betapa berbedanya dengan kehidupan nyata dari Yesus! Walaupun beban seluruh dunia terletak pada pundak-Nya, walaupun Korintus dan Efesus dan Athena, seluruh benua, dengan seluruh kebutuhan yang menyedihkan, ada sangat dekat dengan hatiNya, walaupun penderitaan dan dosa terus berlangsung di dalam kamar-kamar, di sudut-sudut jalan, kastil, dan di tempat-tempat kumuh dan kotor, hal ini hanya dapat dilihat oleh Anak Allah – walaupun kesengsaraan yang tiada terukur dan keadaan yang sangat menyedihkan menjerit dengan kerasnya memohon sang tabib, Dia mempunyai waktu untuk berhenti dan berbicara pada individu…
Dengan taat Dia tinggal di sebuah sudut terpencil dari provinsi Nazaret dan Betlehem dan Dia mengijinkan diri-Nya sendiri dipasangkan dalam sebuah mozaik yang tuannya adalah Allah. Oleh karena itulah Dia mempunyai waktu untuk orang-orang, karena semua waktuNya ada di dalam BapaNya. Dan karena itu pulalah damai dan bukan kegelisahan yang keluar dari Dia. Karena kesetiaan Allah telah mengelilingi dunia ini seperti sebuah pelangi, Dia tidak perlu membangunnya, Dia hanya perlu berjalan di bawahnya.



Di dalam sejarah perjalanan pelayanan Yesus di atas muka bumi ini, saya hanya melihat sekali Dia mengalami satu hal yang mirip dengan “kehabisan”. Di taman Getsemani, Yesus merasa letih lesu dan tidak berdaya di atas tanah dan berdoa. Keringat bercucuran di atas dahi-Nya seperti tetesan darah. Doa-Nya bernadakan permohonan yang amat sangat.Dia “…mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut…” kata kitab Ibrani, tetapi tentu saja Yesus tahu bahwa Dia tidak akan diselamatkan dari maut. Karena kesadaran itu tertanam di dalam diri-Nya, Yesus merasa sangat tertekan. Dia tidak mempunyai kelompok untuk mendukungNya, mereka semua sudah lelap tertidur. “Tidakkah…kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Dia berkata (Matius 26 : 40).
Tetapi masih ada satu perubahan yang sangat besar terjadi di antara pemandangan di dalam taman dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya. Injil menjelaskan tentang Getsemani yang memperlihatkan Seseorang yang berdoa dalam tekanan dan kesedihan yang amat sangat. Sesudah Getsemani, mereka memperlihatkan Seseorang yang lebih dari Pilatus, lebih dari seorang Herodes, bertingkah laku sama sekali TERKONTROL. Yesus bukanlah korban, Dia sangat tenang, Dia adalah Tuan atas takdirNya sendiri.
Apakah yang terjadi di Taman itu yang membuat suatu perbedaan?
Kita hanya mempunyai sedikit detil tentang isi doa Yesus, karena saksi potensialnya jatuh tertidur. Dia mungkin harus meninjau kembali seluruh pelayananNya di atas muka bumi ini. Beban atas semuanya ini harus Dia pikul sendiri ; murid-muridNya sangat tidak stabil, gerakan mereka sedang dalam bahaya, dunia ini masih dikuasai oleh si jahat dan banyak penderitaan. Yesus sendiri tampakNya berada di ujung daya tahan manusia. Dia tidak lagi lebih menyukai pemikiran tentang rasa sakit dan kematian daripada apa yang Anda atau saya lakukan.
Meskipun begitu, di dalam taman Getsemani Yesus bekerja mengatasi krisis tersebut dengan memindahkan beban kepada Bapa. Pertama-tama sesudah itu, doaNya berubah menjadi demikian : “ tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Beberapa jam kemudian Dia berkata, dengan kesungguhan yang mendalam, “Sudah selesai”.
Saya berdoa agar saya dapat melihat pekerjaan saya, kehidupan saya, sebagai satu persembahan kepada Allah setiap hari. Saya telah belajar bahwa Allah adalah Allah yang murah hati, penuh belas kasih, dan penuh dengan anugerah. Allah dan hanya Allah saja yang memiliki kualitas untuk menolong saya mengatasi jalan licin diantara mengasihi orang lain dan mengasihi diri sendiri – satu jalan yang dibatasi oleh hipersensitivitas dan callus (penebalan kulit).

Selasa, 29 Juni 2010

PEKERJAANKU ADALAH PELAYANANKU




Aku ingat kala itu…
Ketika aku sakit dan harus periksa laboratorium…
Dan mami harus berhutang ke tetangga, karena tidak ada uang sepeserpun untuk berobat
Aku ingat kegelisahan papi karena dia juga tidak berdaya kala itu
Aku ingat betapa sulitnya kondisi kami ketika salah satu diantara kami sakit…
Kesehatan adalah harta yang tak ternilai…

Tapi siapa yang menjamin bahwa kita tidak pernah bisa sakit?

Kini ketika ku telah dewasa,
Aku belajar memahami kegelisahan, ketakutan, kesedihan dan kebingungan mami,
…ketika salah satu dari kami sakit dan tidak ada uang untuk berobat.
Orang mengatakan ‘uang bisa dicari, tapi kesehatan adalah segala-galanya’
Itulah mami dan papi, meski harus menanggung malu untuk berhutang.
demi kami…

Memori itu terus ada dalam diriku
Menjadi bahan bakar yang membuatku harus terus bertahan dalam peranku kini…
Menghadapi setiap tuntutan dan tekanan dalam pekerjaan.
Dengan satu mimpi dan pengharapan…jika Tuhan mengijinkan…

Suatu saat nanti, aku menyaksikan…
Ada banyak lab-lab kecil…
Di setiap pelosok kota dan desa…
Tanpa membedakan si kaya dan si miskin, warna kulit maupun agama…
Pengusaha, pejabat, dokter, guru, tukang becak, kuli bangunan, bahkan gelandangan…
Dengan harga yang sangat terjangkau bagi mereka yang tak berdaya…
Dengan kualitas yang tinggi…
Bahkan sampai ke Papua…”Surga yang menjadi neraka itu”
Tuhan ini visi yang sangat besar, terjadilah seturut rencanamu…Amen




Ditulis sebagai doa
Jakarta, 29 Juni 2010
Pukul 19.30